1. Kampus humaniora yang disiplin dan mengedepankan layanan akademik yang profesional.
2.
Strategi mencetak ahli madya farmasi berkompeten dalam knowledge,
skill, dan attitude serta beriwa wirausaha, dengan pendekatan:
a. Kurikulum berbasis kompetensi
b. Orientasi pada pengembangan obat tradisional
c. Pengembangan jiwa kepemimpinan dan enterpreuner
d. Kerjasama dengan stakeholder sebagai dosen tamu
3. Daya serap pasar terhadap lulusan tinggi, masa tunggu rata-rata tidak lebih dari 2,4 bulan
4.
Staf pengajar yang handal, meliputi para akademisi maupun praktisi yang
kompeten dan berpengalaman dan senantiasa aktif dalam mengikuti program
hibah penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
5. Pemberdayaan laboratorium sebagai unit produksi.
6.
Membuka diri sebagai Tempat Try Out dan Tempat Uji Kompetensi Asisten
Apoteker bagi lulusan program D-III farmasi se-Karesidenan Surakarta.
7.
Kegiatan Mahasiswa Farmasi (KMF) dalam bentuk: kegiatan kerohanian,
olahraga, Paduan Suara Mahasiswa (PSM) dan musik. Program hibah
penelitian (PKM, LKTIM, dll). Beasiswa bagi mahasiswa berprestasi dan
kurang mampu
perkembangan farmasi
FARMASI
1) Perkembangan dan dinamik.
Industri farmasi Indonesia relatif masih muda dibandingkan dengan industri
farmasi di negara-negara maju. Pada masa penjajahan Belanda sampai perang
kemerdekaan jumlah pabrik farmasi di Indonesia masih sangat sedikit yaitu
Pabrik Kina dan Institut Pasteur (produsen serum dan vaksin) di Bandung serta
Pabrik Obat Manggarai di Jakarta. Demikian pula sarana distribusi farmasi dan
apotik masih sangat terbatas. Pada tahun 1937 terdapat 76 apotik yang sebagian
besar berlokasi di Jawa dan hanya beberapa apotik yang berada di kota-kota
besar Sumatera. Fungsi apotik pada periode itu disamping melakukan peracikan
dan penyerahan obat juga melakukan produksi dan distribusi obat. Keadaan ini
tidak banyak mengalami perubahan sampai awal kemerdekaan.
Pada tahun 1955 jumlah pabrik farmasi di Indonesia tercatat 7 pabrik dan apotik
131. Tahun 1958 meningkat menjadi 18 pabrik farmasi dan 146 pabrik farmasi.
Pada periode antara tahun 1958 dan 1967 jumlah produsen farmasi meningkat
menjadi 109 pabrik dan apotik sebanyak 585 (Sirait, 2001).
Pada tahun 1969 jumlah produsen farmasi di Indonesia tercatat 149 pabrik yang
terdiri dari 6 perusahaan PMDN, 1 perusahaan PMA dan 142 perusahaan swasta
nasional. Pada awal-awal tahun Orde Baru ini sebagian besar kebutuhan obat
Indonesia masih diimpor dari luar negeri. Pada tahun 1983, telah terjadi
kemajuan yang cukup signifikan karena 90% kebutuhan obat telah dapat dipenuhi
oleh industri farmasi di dalam negeri, meski sebagian besar bahan baku masih
harus diimpor. Jumlah produsen farmasi pada tahun 1983 tercatat 286 pabrik yang
terdiri dari 37 perusahaan PMDN, 40 perusahaan PMA dan 209 perusahaan swasta
nasional. Jumlah perusahaan manufaktur farmasi Indonesia yang ada pada dewasa
ini relatif tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan tahun 1983.
Pada saat ini jumlah podusen farmasi tercatat sebanyak 202 pabrik yang terdiri
dari 4 BUMN, 30 PMA dan 168 perusahaan sasta nasional.
Dalam nilai penjualan telah mengalami kenaikan; pada tahun 1980 obat yang
beredar di Indonesia bernilai sebesar US $ 483 juta (Sirait, 2001) dan pada
tahun 2004 tercatat sekitar US$ 2 milyar (Sampurno, 2005). Profil industri dan
pasar farmasi Indonesia tahun 2004 dapat dilihat pada Gambar 15 dibawah ini:
Gambar 11. Profil Industri dan Pasar Farmasi Indonesia
Sumber: Memperkuat Kapabilitas dan Kompetensi Industri Farmasi Indonesia
(Sampurno, 2005)
Sumber: Peran Aset Nirwujud pada Kinerja Perusahaan: Studi Industri Farmasi
Indonesia (Sampurno, 2006: 84)
Pangsa pasar pasar farmasi Indonesia (2004) bila dibandingkan dengan pasar
farmasi global relatif sangat kecil yaitu 0, 25%. Pada Gambar di atas terlihat
pangsa pasar dari 60 perusahaan sebanyak 84% sedangkan 139 perusahaan hanya
memiliki pangsa pasar 16%. Ini berarti sebagian besar perusahaan manufaktur
farmasi Indonesia beroperasi pada skala kecil. Meskipun demikian pertumbuhan
pasar farmasi Indonesia relatif masih cukup tinggi (sekitar 15% tahun 2004) dan
merupakan pasar farmasi yang terbesar di ASEAN. Kedepan pasar farmasi Indonesia
diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup tinggi mengingat konsumsi
obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Berikut
adalah data belanja obat per kapita Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN dan negara-negara maju:
Gambar 12. Belanja Obat per Kapita
Pada data di atas terlihat pada tahun 2001 belanja obat perkapita Indonesia
US $ 4,5, sedangkan Malaysia dan Thailand berturut-turut sebesar US$ 12, 9 dan
US$ 12,7. Dengan makin membaiknya pendapatan perkapita dan sistem jaminan
kesehatan Indonesia dimasa mendatang, maka nilai peredaran obat di Indonesia
akan besar. Keadaan ini tentu akan mempunyai korelasi positif dengan
pertumbuhan industri farmasi Indonesia dimasa mendatang. Berikut adalah data
total penjualan industri farmasi Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke
tahun.
Gambar 13. Total Penjualan Industri Farmasi Indonesia (Dalam Milyar Rp)
Sumber: Sampurno (2005)
Ekspor obat Indonesia dari tahun ketahun menunjukkan peningkatan meskipun
nilainya relatif belum besar yaitu sekitar 5% dari total penjualan industri
farmasi Indonesia. Dengan diberlakukannya harmonisasi regulasi farmasi ASEAN
pada tahun 2008 maka akan tercipta pasar tunggal ASEAN di bidang farmasi, dalam
arti tidak ada lagi hambatan tarif maupun non tarif dalam perdagangan farmasi
di region ASEAN. Ini berarti terbuka peluang bagi industri farmasi untuk
mengembangkan ekspor di pasar ASEAN, tetapi pada saat yang sama pasar domestik
Indonesia akan terancam masuknya produk-produk farmasi ASEAN dengan lebih
leluasa ke Indonesia. Berikut adalah data tentang perkembangan ekspor industri
farmasi Indonesia dan impor bahan baku.
Tabel 2. Data Ekspor Obat Indonesia 2001-2004
Sumber: Memperkuat Kapabelitas dan Kompetensi
Sumber : Sampurno (2005)
Gambar 14 . Impor dan Ekspor Produk Farmasi
Sumber BPS diolah oleh Badan POM (2005).
Industri farmasi domestik Indonesia bergerak terutama pada produksi dan
pemasaran branded generic (obat yang sudah off patent), obat generik dan obat
lisensi dari perusahaan farmasi di luar negeri. Industri farmasi domestik
Indonesia adalah industri formulasi, bukan research-based company. Kegiatan
R&D yang dilakukan sangat terbatas dengan dukungan pembiayaan rata-rata
dibawah 2% dari total penjualan. Riset yang dilakukan terbatas hanya pada
formulasi produk, bukan pengembangan obat molekul baru. Kedepan implikasinya
adalah perusahaan farmasi domestik Indonesia tidak akan pernah bersaing pada
segmen pasar obat paten/obat inovatif.
Area persaingan perusahaan farmasi domestik Indonesia adalah pada pasar obat
branded generic dan obat generik. Perkembangan pasar obat bebas atau OTV (Over
The Counter) di Indonesia juga cukup tinggi dari tahun ketahun. Pangsa pasar
obat OTC ini didominasi oleh perusahaan farmasi domestik. Berikut adalah Top 10
perusahaan farmasi untuk produk etikal.
Gambar 15. TOP 10 Industri Farmasi Indonesia
Sumber : PT. Kalbe Farma , diolah (2006)
Sumber: PT. Kalbe Farma (diolah)
Dari Gambar 15 tersebut dapat diintrepretasikan bahwa persaingan pasar farmasi
Indonesia sangat ketat. Perusahaan yang tidak konsisten dalam menjaga dan
meningkatkan daya saingnya akan kehilangan pangsa pasarnya dalam waktu yang
relatif singkat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah nanti ketika pasar
tunggal farmasi ASEAN diberlakukan, konfigurasi Top 10 perusahaan farmasi Indonesia
akan mengalami pergeseran dengan masuknya ”pemain-pemain” ASEAN di pasar
Indonesia. Industri farmasi Indonesia semestinya mempunyai persiapan dan
kesiapan untuk memanfaatkan potesi pasar farmasi ASEAN yang besar.
2) Rekomendasi Kebijakan
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh industri farmasi Indonesia pada
lima tahun ke depan akan sangat berbeda dengan lima tahun yang lalu. Lanskap
persaingan sangat berubah yang karena itu memerlukan strategi baru dan
paradigma baru. Demikian pula pemerintah dituntut untuk memiliki wawasan dan
pemahaman yang luas mengenai daya saing industri farmasi sehingga regulasi dan
kebijakan yang dibuat dapat menciptakan nilai (creating value) bagi kemajuan
industri farmasi Indonesia. Di era pasar tunggal farmasi ASEAN, pemerintah
tidak bisa lagi ”domestic inward looking” dalam membuat regulasi di bidang
farmasi, tetapi harus memperhatikan pula ”regulasi regional” yang telah
diharmonisasi oleh ASEAN.
Hal tersebut perlu digarisbawahi karena regulasi dan kebijakan pemerintah yang
tidak ”match” dengan dinamika dan perkembangan industri farmasi regional dan
global, akan mempunyai implikasi negatif terhadap daya saing industri farmasi.
Ke depan kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang industri farmasi perlu lebih
didasarkan pada research-based policies, bukan kebijakan yang bersifat ad hoc
dan parsial. Menghadapi persaingan yang makin ketat di era pasar tunggal
farmasi ASEAN, pemerintah semestinya memiliki visi, skenario dan kebijakan yang
jelas mengenai peningkatan keunggulan daya saing industri farmasi Indonesia
yang berkelanjutan (sustainable).
Demikian pula dalam R&D, pemerintah semestinya dapat berperan lebih nyata.
Pemerintah dapat menjadi mediator yang efektif untuk menggalang kerjasama yang
saling menguntungkan antara industri farmasi dan pusat-pusat riset di berbagai
unversitas. Perusahaan farmasi yang melakukan kerjsama riset dengan universitas
perlu diberikan insentif yang bermakna termasuk taxes deducted.
Industri farmasi adalah knowledge-based industry dimana peran intangible assets
(aset nirwujud) sangat besar pada daya saing dan kinerja perusahaan. Intangible
assets industri farmasi Indonesia yang mencakup human capital, structural
capital, customer capital dan partner capital umumnya relatif lemah. Dari
sekitar 170 perusahaan farmasi domestik Indonesia, hanya sekitar 30 perusahaan
yang mempunyai potensi untuk dapat mengembangkan pasar ekspor khususnya pasar
Asia Tenggara. Selebihnya akan menghadapi tantangan yang cukup berat karena
pemain di pasar domestik akan semakin bertambah dengan masuknya perusahaan
farmasi ASEAN dengan home base di luar Indonesia. Dalam konteks ini perlu ada
orientasi baru dari industri farmasi Indonesia yakni mempertahankan penguasaan
pasar domestik dan mengembangklan pasar ekspor. Bersamaan dengan itu, diperkuat
intangible assets industri farmasi Indonesia untuk meningkatkan keunggulan daya
saing dan kinerja industri.
Industri farmasi Indonesia selain perlu memperkuat kompetensi marketing, juga
perlu memperkuat lini R&D termasuk riset bahan–bahan herbal Indonesia untuk
dikembangkan sebagai fito farmaka untuk pengobatan modern dan dipasarkan secara
luas termasuk diekspor ke berbagai negara. Hal ini perlu digarisbawahi karena
Indonesia adalah mega center keanekaragaman hayati terbesar di dunia.
Sejak sekarang perusahaan farmasi Indonesia harus sudah membangun networking
diASEAN dan melakukan aliansi stratejik dengan perusahaan domestik di
masing-masing negara anggota ASEAN. Sejalan dengan itu pemerintah perlu
melakukan negosiasi-negosiasi resiprokal secara bilateral dengan negara-negara
anggota ASEAN. Dalam konteks ini otoritas di bidang farmasi dituntut untuk pro
aktif agar industri farmasi Indonesia tidak kehilangan peluang pada pasar
tunggal farmasi ASEAN tetapi justru dapat memanfaatkannya secara optimal untuk
kepentingan nasional secara luas.